Kamis, 17 September 2009

Konsumerisme Menyambut Lebaran

Oleh Muhammad Sirul Haq Advokat pada YLBHM dan Koordinator ForKATA Makassar

Tingginya tingkat konsumtif masyarakat menjelang dan menjalani Lebaran boleh dikata gila-gilaan. Bagaikan sebuah rantai kehidupan, maka pola hidup masyarakat terutama yang beragama Islam sesungguhnya menjadi pertanyaan besar

Tak satupun hadis dalam Islam yang ditemukan mengenai "berfoya-foya" menyambut Lebaran, baik dalam persoalan makanan, pakaian dan gaya hidup. Umat Islam, walaupun tidak semua tapi secara dominan menjadikan Lebaran sebagai puncak perayaan kemenangan yang disikapi dengan perilaku konsumsi yang sangat berlebih.
Penyediaan makanan di kala Lebaran boleh dibilang wah dibandingan hari-hari lainnya dengan menu yang terbilang sangat istimewa. Untuk menyediakan hal itu dana yang perlu disediakan tak sedikit jumlahnya ditengah melambungnya harga bahan pokok.
Apalagi perubahan kebiasaan pada masyarakat bawah dengan adanya program konversi minyak tanah ke gas, membawa pula perubahan pada pola konsumsi di dapur rumah tangga yang berupaya menekan tingkat pengeluaran. Namun hal itu tak didukung dengan pengurangan daya beli setiap rumah tangga akan kebutuhan menjelang Lebaran.
Bahkan ada upaya memaksakan diri dalam penyediaan hidangan ketika lebaran tiba. Terutama penyediaan kue-kue kering dan basah ketika menyambut tamu di hari Lebaran, bahkan dipertautkan pula dengan minuman yang disajikan tidak seperti biasanya alias sangat istimewa.
Jika diperkirakan, pengeluaran dapur saja untuk menyambut lebaran minimal satu rumah tangga mengeluarkan minimal Rp 300 ribu. Belum lagi ditambah dengan kebutuhan sandang, di antaranya penyediaan baju Lebaran yang harus dipenuhi untuk menyambut datangnya hari kemenangan.
Bayangkan saja, untuk memenuhi sebuah rumah tangga yang didalamnya terdapat keluarga kecil yang terdiri atas suami istri dan du anak di tengah harga pakaian yang boleh dikata mengalami kenaikan harga walaupun dengan janji diskon dari pusat perbelanjaan sampai 75 persen.
Adanya upaya pemaksaan diri dengan menyediakan pakaian baru untuk setiap anggota keluarga, membuat kepala rumah tangga harus menyediakan anggaran minimal Rp 300 ribu. Belum lagi bila ditambah dengan berbagai aksesoris pakaian, perlengkapan sholat, kosmetik dan penyediaan alas kaki yang baru pula, entah itu berupa sandal, sepatu, maupun sandal sepatu.
Semua hal itu mungkin bila dipikirkan akan membuat kepala menjadi sakit dan berputar tujuh keliling untuk memenuhinya.
Bayangkan saja, sudah berapa pengeluaran akan pangan dan sandang rumah tangga untuk menyambut lebaran yang tak terbilang sedikit itu. Bila total minimal diatas tadi maka perlu disediakan dana minimal Rp 600 ribu diluar dari kebiasaan sehari-hari pada pola konsumtif yang harus dikeluarkan.
Namun apakah akan berhenti sampai disitu, tentu tidak! Masih banyak kebutuhan lebaran yang harus disediakan sebuah rumah tangga untuk menikmati Lebaran yang membahagiakan itu.
Penyediaan akan pernak pernik rumah yang perlu pula berhias selain pemilik rumah itu sendiri, terkadang dirangkaikan pula dengan pembelian kursi baru, mengecat rumah, seprai, lemari, horden dan segala perlengkapan rumah yang dianggap usang dan perlu diperbaharui memasuki Lebaran.
Pembengkakan biaya pun bisa terjadi pada keluarga yang telah memiliki anak, baik yang memiliki satu orang anak maupun lebih.
Ada kebutuhan konsumsi dan uang saku yang harus dipenuhi untuk membahagiakan mereka di luar kebutuhan pangan keluarga dan sandangnya, dan konsumsi itu berupa uang jajan mereka menikmati Lebaran agar tak minder di tengah-tengah temannya yang juga mendapat angpao dari orang tua mereka masing -masing.
Bermunculannya pusat-pusat hiburan di kota-kota besar, mulai dari tempat ajang bermain hingga rekreasi alam terbuka akan menjadi pilihan dari sebagian besar keluarga menghabiskan liburan Lebaran. Harga yang perlu dibandrol minimal Rp 50 ribu untuk pengeluaran traveling ini, entah itu tempat ecek-ecek hingga lux yang menawarkan paket hiburan yang terbilang istemawa dan baru.
Contonya saja, kemunculan Trans Studio di Makassar dimana mengharuskan setiap orang tanpa pandang bulu merogoh kocek Rp 100 ribu. Nah boleh dihitung realistis bila keluarga kecil saja yang terdiri dari dua anak, maka dana yang harus disediakan Rp 400 ribu belum termasuk ngemil selama menghabiskan waktu dan biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Pola Konsumerisme
Tingginya tingkat konsumtif masyarakat menjelang dan menjalani Lebaran boleh dikata gila-gilaan. Bagaikan sebuah rantai kehidupan, maka pola hidup masyarakat terutama yang beragama Islam sesungguhnya menjadi pertanyaan besar.
Apakah sebenarnya pola itu sangat dipengaruhi oleh dorongan agama itu sendiri ataukah ada pola budaya, keterjeratan akan godaan produsen atau kapitalisme dalam memainkan pasar. Ataukah ada bentuk pembiaran yang dilakukan negara dalam hal ini pemerintah dan juga pemuka agama untuk bersikap masa bodoh akan pola konsumerisme yang melebihi ambang batas tersebut.
Bila kita bertanya pada setiap orang ataupun kepala keluarga mengenai pola konsumerisme menyambut lebaran, dapat dipastikan bahwa mereka menjadikan itu sebagai pilihan karena tak ingin tersisihkan dari dunia sosial yang cenderung menggiring kearah sikap berlebihan itu di tengah kondisi bangsa yang masih miris dengan utang yang mencekik.
Artinya ada permainan pasar yang coba diramu dengan sedemikian masifnya agar masyarakat tergoda dan terseret pada lembah pemborosan.
Penggiringan yang paling nyata dengan godaan yang muncul diberbagai media, dengan tawaran diskon ataupun paket murah yang sangat menggiurkan. Bagaikan paket hipnotis mampu menyeret masyarakat sebagai konsumen untuk bersikap konsumtif sehingga menjadi pola konsumsi yang membudaya atau life style.
Dan jika telah menjadi budaya, maka dapat dipastikan hal itu menjadi pembiasaan yang dibiasakan mengarah pada kebiasaan yang sulit dihilangkan lagi.
Kebiasaan yang melekat itu secara padat dan pasti melekat pada pola pikir, sehingga menjadikannya sebagai sebuah pemahaman akan pola konsumsi. Dan bila telah melekat erat dalam pikiran maka akan menjadi paham atau pertautan kehendak yang biasa disebut dengan ideologi.
Pertautan itu kemudian mengawinkan antara paham konsumerisme dan kapitalisme yang begitu kenjang merasuki setiap pola pikir dan perilaku, dan bisa jadi merusak iman.
Parahnya lagi, pola konsumerisme yang berlebih ini mengantar pada sikap pemborosan dan penggunaan sumber daya alam yang berlebih. Bila ini terus dipaksakan dan menjadi pola pembiasaan pasca lebaran maka dapat dipastikan bumi ini akan sulit memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan masyarakat yang terus meningkat.
Alhasil, akan menggiring pada krisis kebutuhan manusia yang tak sanggup dipenuhi oleh lingkungan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Kerusakan itu, seperti yang telah kita rasakan sekarang ini meningginya suhu bumi, mencairnya es di kutub utara dan selatan.
Dan tentunya, pemanasan global ini akan kembali merugikan manusia itu sendiri, sementara ajaran Islam mengajarkan agar tak menjadi orang-orang yang merugi.
Pembentengan Agama
Islam telah mengajarkan kita agar rendah diri, bersikap sederhana, tidak boros dan tawaddhu. Adanya bulan Ramadan dengan paket puasa dan ibadah sebagai syariat seharusnya membuat pola hidup kita menjadi sederhana dan melakukan refleksi akan diri yang ditempa dengan rasa lapar.
Merasakan derita kaum dhuafa bahkan hingga dorongan peduli akan kehidupan mereka, yang kemudian diimplementasikan dengan anjuran untuk melakukan zakat.
Ajaran untuk melakukan zakat baik dalam bentuk fitrah maupun mal (harta), seharusnya menghindarkan pada pola konsumsi yang berlebih dengan memberikan kelebihan yang dipunya pada yang tidak punya. Memberikan harta maupun apa yang dimakan sehari-hari, agar kaum fakir miskin dapat pula merasakan indahnya lebaran dengan konsumsi makan dua kali sehari yang mungkin biasanya hanya makan sekali dalam sehari dengan menu apa adanya.
Lantas ajaran Islam yang katanya merupakan ajaran keselamatan itu justru yang terlihat tak menyelamatkan bagi saudara-saudaranya yang menderita kemiskinan. Mungkinkah keber-Islaman setiap individu haruslah dipertanyakan sebagai bentuk introspeksi akan pentingnya pola penyelamatan diri, saudara-saudara disekitar kita dan kehidupan sosial yang sepantasnya lebih membutuhkan rasa keselamatan.
Walaupun Islam tak pernah melarang bagi umatnya untuk memanjakan diri dengan berbagai fasilitas dan kemampuan untuk menikmati segala yang tersedia di muka bumi ini. Tapi apakah memang perlu sebagai sebuah kebutuhan untuk berpola konsumerisme menyambut Lebaran, di tengah kondisi masyarakat yang menurut survey Bank Dunia bahwa 50 persen masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan dan negara yang masih terjerat utang? Ataukah memang Islam mengajarkan kita untuk bersikap konsumtif yang berlebih***

dikutip dari http://www.tribun-timur.com/read/artikel/48946